Sabtu, 30 Juni 2012

 

Tontonan Jadi Tuntunan, Tuntunan jadi Tontonan 
antara Budaya dan Agama


           Pernahkah Anda melihat kotoran kerbau bule dibalurkan ke tubuh seseorang agar dapat berkah, atau air cucian kereta dan keris jadi rebutan agar berlimpah rejeki, itulah tontonan yang jadi tuntunan.  Tetapi di sisi lain Pengajian jadi tontonan misalnya "Dai sejuta Umat" Salah satu acara yang mengundang banyak orang di daerah Solo adalah arak-aran kebo bule yang mengiringi pusaka keraton setelah jamasan (mencuci pusaka keraton ) yang dilakukan di malam 1 suro. Acara ini sudah masuk dalam kalender wisata kota Solo yang dipadati oleh masyarakat. Acara ini diawali dengan dikeluarkannya pusaka keraton dari keris sampai tombak untuk dijamas/dicuci setahun sekali.

       Pusaka Keraton Solo ini dicuci dengan air jeruk nipis dan berbagai bunga/kembang sebagai pelengkap. Maksud dari pencucuian ini adalah untuk menghindarkan pusaka ini berkarat dan cukup dilakukan setahun sekali dengan cairan karena apabila terlalu sering malah merusak bahan dari pusaka. Air bekas dari cucian pusaka inilah yang diperebutkan masyarakat untuk cuci muka ataupu untuk dibawa ke rumah dan di siramkan ke sawah ladang mereka biar panen. Padahal dari pihak Keraton menyatakan air tersebut tidak mempunyai manfaat apapun. Selanjutnya pusaka ini dibawa keliling keraton diikuti dengan kebo bule (kerbau albino berwarna putih). Kerbau ini begitu keramat di kalangan keraton sehingga sangat terpelihara dengan baik. Sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan pusaka dan kebo bule yang dilakukan malam hari ini, masyarakat telah berdiri sepanjang jalan. Sebagai tradisi budaya memang tidak mengherankan jika masyarakat begitu antusias menantinya. Sepanjang jalan yang dilalui kebo bule ini tidak jarang kerbau ini mengeluarkan kotoran di aspal jalan, herannya masyarakat khususnya dari pedesaan memungut kotoran kerbau ini ada yang di simpan di kantong plastik bahkan ada yang membalurkannnya di anggota badan mereka untuk mengharap berkah, tentunya semua ini hanya ada di Indonesia.
    
       Kirab pusaka beserta jamasan pusaka juga ada di keraton Jogja, tetapi ada acara budaya yang mengambil dari kegiatan ibadah yaitu tradisi Mubeng Benteng Kraton (Keliling benteng Kraton dengan berjalan kaki). Sebenarnya tradisi Mubeng Benteng ini mengambil dari kegiatan Towaf mengelilingi Ka'bah sabagai rukun dari haji. Mubeng benteng ini dilakukan masyarakat di malam hari dan dilarang berbicara selama melakukan ritual ini. Kegiatan ini begitu mengakar di masyarakat Jogja, tetapi Sultan sendiri sebagai raja kraton jogja jarang terllihat bahkan tidak melakukan tradisi ini. Masyarakat mempercayai apabila telah melakukan ritual budaya ini mereka akan selamat dan dilimpahi banyak rejeki. Keraton Solo dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kerajaan Islam, yang tidak heran segala macam ritual budayanya bernafaskan ajaran Islam. Ajaran Islam ini sebenarnya diselipkan di budaya keraton sebagai syiar agama. Tetapi tradisi ini begitu mengakar sehingga yang tadinya hanya sebagai pemanis dianggap sebagai tuntunan. Sehingga tidak heran masyarakat lebih mendahulukan tradisi daripada nilai ibadah.


Budaya Cium Tangan


       Pelajar asing yang mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia merasa hran melihat anak anak khususnya tingkat Sekolah Dasar cium tangan orang tuanya saat mau berangkat dan cium tangan gurunya saat sampai di sekolah.  padahal negeri asalnya mereka dengan ringan memanggil nama orang tua mereka. Tetapi seiring waktu di Indonesia sendiri anak setingkat smu sampai kuliah mungkin hanya 1 tahun sekali cium tangan orang tua yaitu saat lebaran.
       Budaya cium tangan ini paling terasa saat lebaran yang dinamakan dengan sungkeman. Sungkeman ini juga banyak ditemui di acara pernikahan, dimana kedua mempelai bersimpuh mencium tangan kedua orang tua meraka/wali untuk meminta maaf dan mohon doa restu unutk pernikahan mereka. Sungkeman sebenarnya sangat dekat dengan budaya Jawa. Dimana Raja duduk di singgasana menerima penghormatan dari para pengikutnya. Cium tangan ini sangat terasa di pesantren, yaitu siswa mencium tangan guru atau kyai pimpinan mereka. Sebenarnya budaya cium tangan ini mengandung banyak nilai pendidikan, dimana yang muda hormat dan minta doa terhadap yang tua. Cium tangan juga sebagai ikatan batin antara anak dan orang tua yang begitu mendalam.
       Di jaman sekarang yang begitu mengkhawatirkan bagi sebagian orang tua terhadap anaknya, cium tangan bisa untuk mengatasi masalah ini. Budaya cium tangan anak kepada orang tua, istri kepada suami atau murid kepada murid bukanlah hal yang mudah bagi yang belum terbiasa. Hal ini bisa dimulai dari pihak yang tua dengan cara jabat tangan terlebih dahulu secara perlahan seiring dengan perjalanan waktu rasa canggung akan terkikis. Bagi orang asing cium tangan kepada orang tua sebagai rasa hormat mungkin tidak ada. Tetapi cium tangan dimana pria mencium tangan seorang wanita sebagai rasa sayang ada. Mereka menganggap budaya cium tangan kepada orang tua aneh begitu juga kita melihat orang asing mencium tangan wanita dengan berakan berlebih "lebay" dengan bersimpuh tentu aneh juga di mata kita, seperti kata pepatah lain ladang lain belalang. Semoga minimal satu tahun sekali budaya sungkem di lebaran yang tidak terbatas dilakukan orang Islam atau orang Jawa, budaya cium tangan tetap melekat setiap insan di bumi Indonesia. Seperti slogan Telkomsel "Paling Indonesia"


Kewibawaan Kerajaan Mulai Pudar di Masa Modern Ini.



       Apabila Anda berkunjung ke Yogyakarta, masuk alun alun sudah banyak pedagang asongan dan pengemis.  Menuju pintu keraton pemandangan tidak berbeda penuh sesak orang berjualan  Masuk ke dalam keraton sangat kontras antara pengunjung dan abdi dalem keraton.  Abdi dalem dengan pakaian adatnya tetapi para pengunjung baik lokal maupun mancanegara dengan bebas mengenakan celana pendek dan baju terbuka terbuka, padahal apabila kita berkunjung ke Candi Borobudur diharuskan memakai kain untuk menghormati candi sebagai tempat ibadah orang Hindhu.

         Di Jawa ada budaya tepo sliro (tenggang rasa), unggah ungguh (bersikap) ternyata sebagian mulai pudar di depan keraton sabagai lumbung budaya. Hanya di Jogja dimana raja adalah seorang pimpinan pemerintah sebagai gubernur. Tetapi di depan keraton sendiri sangat semrawut dan sebenarnya tidak layak ada di halaman keraton sebagai wilayah yang sangat dihormati. Banyak pedagang bertumpuk di depan pintu masuk keraton, apabila kita jeli pedagang ini apabila menawarkan dagangan terhadap orang asing dengan harga berlipat-lipat, misalnya air mineral yang di toko ditawarkan Rp.2000,- ditawarkan ke wisatawan asing Rp.15.0000.

          Memang hak mereka untuk menetapkan harga dagangan, tetapi ini memberi kesan tidak baik untuk wisatawan. Para pedagang mengesampingkan budaya unggah-ungguh/bersikap sopan santun sebagai orang Jawa yang halus. Mengenai harga yang diluar kewajaran ini sebenarnya juga terjadi di Malioboro khususnya pedagang makanan lesehan belasan tahun yang lalu. Peristiwa harga di luar harga wajar ini menjadi perhatian besar saat ada seorang menteri di kabinet orde baru makan di lesehan Malioboro, ternyata dikenai harga yang sangat tinggi, padahal kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berada di kawasan Malioboro. Seiring dengan adanya keluhan ini sekarang para pedagang lesehan Malioboro memasang harga menu pada setiap warung makannya. Semoga budaya khas Jawa yang halus, nguwongke/memanusikan orang tidak luntur karena faktor ekonomi.

Tarian Masyarakat Lebih Spontan dan Energik 
daripada Tarian Keraton di Jawa

Pernahkah Anda mendengar tarian "Kobro Siswo", "Dayak-an", "Kuntulan", "Jathilan".  tarian tersebut adalah tarian yang tercipta di tengah kehidupan masyarakat bukan lahir di dalam tembok keraton. Tarian Keraton seperti gambyong identik dengan kelemah lembutan sedangkan tarian yang lahir di tengah masyarakat lebih spontan dan energik.
Apabila kita melihat kesenian tarian jathilan/kuda lumping buang jauh jauh kalo tarian ini lemah lembut khususnya yang dimainkan kaum pria. Tarian ini begitu menghentak dengan bebunyian gamelan yang monoton. Jathilan atau Kuda lumping diilhami dengan perang Diponegoro. Sebelum memulai tarian ini sejumlah pemain mengikuti kegiataan berbau mistik dan kuda kepang yang mereka gunakan juga mengikuti ritual ini, walaupun ini bukan suatu keharusan. Bagi pemain kuda lumping jaran kepang yang mereka gunakan dalam menari apabila mereka mencapai taraf kesurupan menggagap kudanya bisa terasa jadi jantan dan betina, jinak atau liar.

Sedangkan tarian keraton lebih halus  Perbedaan paling jelas antara tarian istana dengan tarian rakyat tampak dalam tradisi tari Jawa. Strata masyarakat Jawa yang berlapis-lapis dan bertingkat tercermin dalam budayanya. Jika golongan bangsawan kelas atas lebih memperhatikan pada kehalusan, unsur spiritual, keluhuran, dan keadiluhungan; masyarakat kebanyakan lebih memperhatikan unsur hiburan dan sosial dari tarian. Sebagai akibatnya tarian istana lebih ketat dan memiliki seperangkat aturan dan disiplin yang dipertahankan dari generasi ke generasi, sementara tari rakyat lebih bebas, dan terbuka atas berbagai pengaruh. Perlindungan kerajaan atas seni dan budaya istana umumnya digalakkan oleh pranata kerajaan sebagai penjaga dan pelindung tradisi mereka. Misalnya para Sultan dan Sunan dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta terkenal sebagai pencipta berbagai tarian keraton lengkap dengan komposisi gamelan pengiring tarian tersebut. (sumber :wikipedia)

 Tari Keraton Golek Ayun-Ayun

Tarian Rakyat ataupun Tarian Keraton keduanya memperkaya khazanah budaya bangsa dimana puncak puncak budaya yang paling Indonesia tercermin dalam tarian tersebut.


Pasukan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah 
Pasukan Penjaga Budaya


Apabila Anda berkunjung ke Yogyakarta, dimana Anda menemui pasukan keraton sebagian besar berusia lanjut.  Mereka bukanlah penjaga kerajaan seperti di Inggris yang merupakan tentara organik negara Inggris.  Pasukan prajurit Keraton Yogya adalah abdi dalem atau pegawai keraton yang di beri mandat untuk menjadi prajurit biasanya turun temurun. 

















Sejarah Prajurit Keraton
Kerajaan tentunya memiliki pasukan sebagai penjaga keraton dari segala bahaya. Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I sekitar pada tahun tahun 1755 Masehi. Pasukan ini merupakan abdi dalem kraton, yang terdiri atas pasukan-pasukan jalan kaki dan pasukan berkuda Pasukan Kraton Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Sultan Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata. Dibawah pengawasan Pemerintahan kerajaan Inggris, keraton hanya boleh memiliki kesatuan prajurit dalam jumlah kecil. Pada saat itu prajurit Kraton hanya sebagai penjaga kraton dan pengawal sultan Prajurit keraton yang di kenal di kalangan masyarakat prajutit Patangpuluh, Sumoatmojo, Ketanggung, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Bugis, Langenastro, Surokarso dan Wirobrojo.

 (Prajurit Keraton melewati Prajurit Akademi Angkatan Udara dalam kirab FKY 2012)

Prajurit Kraton Era Modern
Masa Kini Prajurit keraton di era modern saat ini adalah sebagai penjaga budaya bukan lagi sebagai berperan secara militer seperti yang kita temui di kerajaan Inggris. Prajurit keraton sebagain besar telah berusia tua hanya sebgain kecil berusia muda, mereka adalah abdi dalem keraton yang terdaftar. Mengapa kalangan muda enggan menjadi keraton yang otomatis menjadi abdi dalem kraton adalah karena gaji yang diberikan keraton sangat sangat kecil diman sekitar puluhan sampai ratusan ribu perbulan. Hanya kalangan tua yang telah mengabdi di Keraton selama berpuluh puluh tahun tetap semangat budaya. Gaji kecil ini bukan hanya berlaku untuk prajurit keraton, tetapi berlaku juga bagi para pangeran Gusti Bendoro Pangeran Hario (GBPH) Prabukusumo, adik Sultan Hamengkubowono X sebgai panglima perang prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
















Prajurit Keraton Penjaga Budaya
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bukanlah prajurit militer walaupun mereka memiliki bedil, tetapi mereka adalah penjaga budaya keraton. Mereka ada dan diadakan agar budaya dan tradisi keraton yang diadakan tiap tahun tidak punah. Mereka biasa keluar apabila keraton mengadakan kirab budaya seperti mengawal acara Grebeg 1 suro ditandai dengan keluarnya "Gunungan makanan dan hasil bumi". Untuk acara yang diadakan di luar keraton misalnya FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) yang diadakan pemerintah kota Yogyakarta perwakilan dari kesatuan prajurit keraton tampil dilengkapi dengan Drum Band Prajurin Kraton yang khas. Tetapi apabila kegiatan resmi keraton semua pasukan keraton keluar dengan seragam kebesaran masing-masing pasukan. Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat salah satu yang tertinggal dari kejayaan kerajaan nusantara di bumi Indonesia

Jathilan Tarian Khas Jawa yang Bisa Dimainkan 
Cantik maupun Perkasa.

      Tarian jathilan atau kuda lumping yang biasa nya dilengkapi dengan barongan bisa dimainkan oleh pria ataupun wanita yang berikan sentuhan lebih halus daripada dimainkan pria yang identik dengan kesurupan. Tetapi di tangan wanita tarian kuda lumping ini terkesan anggun dan lebih enak dipandang mata.

Berikut adalah kuda lumping yang dimainkan oleh pria


       Sejarah mengenai Tarian Jathilan atau kuda lumping tidak ada yang pasti.  Tarian ini merupakan tarian yang menggambarkan perang Pengeran Diponegoro melawan Belanda, di sisi lain bahwa tarian ini sudah ada semenjak Sultan Hamengkubowono 1 saat melawan Belanda. Terlepas dari aspek sejarahnya tarian kuda lumping adalah tarian yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa.  Bahkan akhir-akhir ini tarian Jathilan yang identik dengan kesurupan ini dipadukan dengan musik dangdut.  Saat penari kuda lumping mulai kesurupan diselingi dengan musik dangdut.  Perpaduan yang kontras yang hanya bisa ditemui di Indonesia.


Tari Topeng Gecul Yang Kocak Khas Semarang


       Tari Gecul asal Semarang ini memberi sentuhan lain dari tari topeng biasanya.  Tari ini di iringi kentongan yang memberikan tanda menari buat penarinya yang membuat banyak penonton tersenyum dan sangat menghibur.



Tari Topeng Gecul mempunyai banyak versi tergantung daerahnya.  Tari ini menceritakan  tentang  Panji Asmara Bangun yang kehilangan Dewi Sekartaji. Panji Asmara Bangun yang menyamar sebagai orang desa mengamen dengan memakai topeng supaya wajahnya tidak terlihat. Sementara Dewi Sekartaji juga menyamar menyamar sebagai pengamen wanita sambil menari. Kisah ini diakhiri dengan pertemuan Panji Asmara Bagun dan Dewi Sekartaji.


 Ratu Selatan Nyi Roro Kidul 
antara Kepercayaan dan Legenda


Kepercayaan akan adanya Ratu penunggu pantai selatan Jawa memang sangat terkenal.  Disisi lain masyarakat sepanjang pantai selatan mengakui keberadaannya.
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan legenda ini dikenal. Namun demikian, legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan mencapai tingkat tertinggi pada keyakinan yang dikenal di kalangan penguasa kraton dinasti Mataram Islam  (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) bahwa penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul, merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja di kedua kraton tersebut. Pada saat tertentu, kraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusumo di Bantul dan di Paranggupita di Wonogiri, kepada sang Ratu. Panggung Sanggabuwana di komplek kraton Surakarta dipercaya sebagai tempat bercengkerama sang Sunan dengan Kanjeng Ratu. Konon, Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga purnama, namun berangsur-angsur menua dan buruk pada saat bulan menuju bulan mati.
Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul (kadang-kadang ada yang menyebut Nyi Lara Kidul). Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa tokoh ini dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.

 

        Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik. Tokoh ini disebut Nyi Rara Kidul. Pada perkembangannya masyarakat cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam kepercayaan Jawa, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul. Berikut adalah kisahnya.
Di masa lalu, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Dewi Kadita adalah anak dari Raja Munding Wangi, Raja Kerajaan Pajajaran. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang Raja.
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja tanpa ada penantang atas takhtanya, dan ia pun berusaha untuk menyingkirkan Dewi Kadita. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap Raja, dan meminta agar sang Raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu Raja menolak. Raja berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara hanya tersenyum dan berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya. Tetapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun tukang tenung. Dia ingin sang dukun meneluh atau mengutuk Kadita, anak tirinya. Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya karena dianggap akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi berkelana sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dewi Kadita yang berhati yang mulia, tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Sang Hyang Kersa mendampinginya dalam menanggung penderitaan.
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa dalam Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Rara Kidul yang hidup selamanya. Kawasan Pantai Pelabuhan Ratu secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.

 

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati dalam mitologi Jawa. Karena orang Jawa mengenal sebuah istilah "telu-teluning atunggal" yaitu tiga sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang Resi Projopati, Penembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan merupakan pendiri Kerajaan Mataram Islam, yang dipertemukan oleh Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga guna memenuhi wangsit yang diterimanya membangun sebuah keraton yang sebelumnya sebuah hutan dengan nama "alas mentaok" (kini Kota Gede di Daerah Istimewa Yogykarta). Pada proses bertapa, diceritakan semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, dan bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah Mataram Islam.
Pemahaman terkait penguasa laut selatan harus diluruskan. Karena antara "Rara kidul" dengan "Ratu kidul" sangatlah berbeda. Namun sudah menjadi pemahaman umum bahwa sosok tersebut adalah sama. Dalam kepercayaan Kejawen, yaitu kepercayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu dan sudah bercampur beberapa unsur Islam, dalam mitologi Jawa, alam kehidupan itu terbagi menjadi beberapa Tahap. Tahap pertama adalah alam Kadewan, kedua adalah alam Nabi, ketiga adalah alam Wali, keempat alam Menungsa (Manusia) dan yang akan datang adalah alam Adil. Pada mitologi Jawa, Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping telu yang kemudian mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi Dewi Sri dan dewi alam lainnya. Sedangkan Rara Kidul merupakan Putri dari Raja Sunda yang terusir oleh ayahandanya sendiri karena ulah dari ibu tirinya sendiri yang kemudian menjelma menjadi sosok penguasa di laut selatan setelah menceburkan diri di laut selatan. Dan cerita terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan beda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa. (Sumber:Wikipedia)

Pandangan Lain
Legenda Nyi Roro Kidul ini dalam suatu kesempatan Sultan Hamengkubuwono X mengatakan hanya legenda, dimana di jaman penjajahan Belanda, masyarakat Jawa suka mito.  Maka Belanda mengambil cerita ini untuk membuat cerita sedemikian rupa agar rakyat terbuai.  

Di sisi lain Sultan sendiri tidak pernah nampak di pantai selatan untuk melakukan ritual.  Ritual seperti budaya larungan atau labuhan pantai selatan sabagai persembahan bumi adalah sebagai rasa bersyukur kapada Tuhan, tetapi karena adat Jawa yang masih sulit lepas dari kemenyan dan aneka bunga atau kembang, seakan ritual budaya keraton ini sebagai persembahan ke ratu pentai selatan Nyi Roro Kidul..
 (Masjid Gede Kraton)

Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat  memiliki sebuah Masjid Besar yang disebut Mesjid Gede Kraton.  Tentunya Sultan sebagai pemimpin yang beriman kuat tidak akan menjerumuskan rakyatnya kepada perbuatan syirik.

 




Labuhan Merapi adalah Bukti Kepasrahan kepada Tuhan



        Mbah Maridjan memang sudah tiada setelah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, tetapi juru kunci merapi telah digantikan putranya Mbah Asih yang seorang pustakawan di universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.  Acara Labuhan Merapi yang baru dilaksanakan 3 minggu yang lalu adalah acara budaya yang dilakukan keraton baik abdi dalem pria dan "keparak" abdi dalem wanita, sebagai rasa bersyukur kepada Tuhan untuk diberi keselamatan.
Prosesi ini dimulai dari  Ngrangkah, Kinehrejo, Cangkringan menuju Alas Bedengan.  Para Abdi dalem membawa beberapa sesajian berupa ingkung (daging ayam), uba rampe dan kembang setaman pun digelar di sebuah altar tembok untuk kemudian diikuti prosesi lanjutan berupa pembacaan doa - doa.
Prosesi Labuhan ini dari membakar kemenyan dan cerutu, pembacaan doa serta diakhiri dengan pembagian berkat yang berupa nasi putih yang dilengkapi daging ayam suwiran. Mereka memang membawa delapan kilo nasi putih yang kemudian dibagi ke dalam plastik kecil untuk dibagikan. Setiap plastiknya diberi jatah empat sendok makan nasi putih dan suwiran daging ayam.

Setelah pembagian 'berkat/makanan' yang menandai akhir prosesi acara tersebut selesai dilaksanakan. Para abdi dalem mulai beranjak dari tempat duduknya. Tak terkecuali bagi juru kunci Gunung Merapi, Ki Lurah Suraksosihono, atau yang akrab disapa Mbah Asih. Sosok Mbah Asih memang merupakan figur yang menjadi sorotan utama sepanjang rangkaian acara tersebut. Wajar saja, Mbah Asih berperan penting sebagai pemimpin jalannya ritual mulai dari penyerahan uba rampe dari keraton Yogyakarta, acara doa bersama pada malam hari sebelumnya hingga pelaksanaan acara inti labuhan yang berlangsung di Alas Bedengan.
Tahun ini mengalami perbedaan  uba rampe dibanding tahun lalu diantaranya Sinjang Kawung Kemplang yang diganti dengan Sinjang Limar. Meski begitu, ia mengaku tak begitu paham dengan penggantian uba rampe tersebut karena merupakan wewenang pihak keraton. Hal ini tidak bersifat mutlak syarat uba rampe bisa menyesuaikan situasi dan kondisi tanpa harus keluar dari pakem yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Adapun uba rampe yang saat itu dibawa, meliputi Sinjang Cangkring, Sinjang Limar, Semekan Gadung Melati, Semekan Gadung, Desthar Doro Muluk, Peningset, Seswangen, Arto Tindeh, serta Kambil Watangan yang berupa perlengkapan berkuda. Semua uba rampe itu, dibawa kembali selesai prosesi labuhan. Hanya kembang setaman saja yang ditinggalkan di altar Alas Bedengan. "Semua ini hanya simbol saja, kalau sudah selesai ya tentu dibawa lagi,"kata Mbah Asih
Dalam prosesi Labuhan ini juru kunci Merapi Mbah Asih memohon keselamatan kepada Tuhan agar masyrakat merapi dan Yogyakarta diberi keselamatan  (sumber :tribun)


Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah Kerajaan Satu-Satunya di Indonesia yang Memegang Pemerintahan



     
        Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari 33 Privinsi memiliki 1 privinsi yang dipegang oleh raja dari suatu kerajaan, yaitu keraton Jogja.  Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY mempunyai kedudukan yang istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia selain pernahmenjadi Ibu Kota Negara kala masa perjuangan juga merupakan salah satu kerajaan yang pertama dengan suka rela bergabung dengan Indonesia.
       Oleh karena itu para pendiri negara ini memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta sebagai daerah, selain istimewa secara budaya tetapi juga istimewa secara pemerintahan, dimana perjanjian antara pendiri NKRI dengan Sultan Hamengkubowono IX saat itu adalah bahwa kepala pemerintahan di Yogyakarta adalah Sultan sebagai gubernur dan Pakualam sebagai Wakil Gubernur.  Tetapi akhir-akhir ini terjadi polemik status kepemimpinan karena wacana demokrasi yang membabi buta.
       Pemimpin dipilih/diangkat salah satunya karena akar budaya yang kuat.  Sultan Hamengkubowono X sebagai Raja Ngayogyakato Hadiningrat bukanlah raja semasa dahulu. Bahkan mendiang ayah beliau Sultan Hamengkuwono IX sangat tunduk terhadap negara Indonesia.  Tidak sedikit tanah keraton digunakan untuk fasilitas umum dari stasiun sampai kampus yaitu Universitas Gadjah Mada. 
Sultan adalah raja secara budaya di kalangan kraton, sedangkan diluar kraton Sultan adalah abdi negara dimana rakyat tidak harus menyembah laksana abdi keraton.  Bahkan di beberapa kejadian Sultan begitu mengalah terhadap rakyatnya.  Misalnya korban merapi di lereng merapi yang rumahnya rata dengan tanah tidak mau  dipindahkan tapi mau menerima rumah di kawasan aman.
       Kraton Jogja yang jauh dari berita perebutan kekuasaan walaupun sultan sendiri tidak mempunyai putra karena semua anaknya adalah putri.  Sultan sendiri tidak merasa was-was, bahkan membuka wacana bila raja ke depan adalah seorang putri alias ratu.


Wayang Onthel , Wayang "Aneh" yang Tetap Menginjak Tanah Budaya Jawa


      Wayang Onthel berarti wayang sepeda, wayang ini terbuat dari onderdil sepeda atau onthel.  cerita yang dibawakan wayang onthel sangat berbeda dari pakem yaitu biasanya Ramayana tapi ini adalah cerita sehari hari dengan tokoh yang tidak akan ditemui di wayang biasa.
       
        Kelahiran Wayang Onthel ini berangkat dari perkumpulan sepeda tua komunitas Old Bikers VOC Magelang yang berada di kota magelang. Sekumpulan anak muda magelang baik pemuda dan pemudi berinisiatif membuat wayang yang berangkat dari wayang kulit yang terbuat dari onderdil sepeda tua. Apabila kita lihat wayang ini seperti layaknya wayang biasa, ada beber dan kain putih untuk memainkan wayang, ada gunungan sebagai pertanda awal dan akhir dari pagelaran wayang dan juga ada wayang itu sendiri yang dimainkan oleh dalang. Tokoh wayang yang dimainkan bukanlah tokoh pewayangan pada umumnya seperti cerita Ramayana atau Mahabharata tetapi tokoh tokoh yang mewakili kehidupan sehari-hari seperti tokoh antagonis-protagonis misalnya gondes (gondrong ndeso) dan pak RT, dan terutama tokoh bapak ibu yang sering dimainkan yang membicarakan masalah sehari-hari.
        Tokoh-tokoh ini dibentuk dengan onderdil sepeda dari lampu sepeda, gir, tempat manggenjot sepeda, rantai dan lain-lain yang sebenarnya harga untuk membangun satu tokoh wayang bisa lebih mahal daripada wayang kulit seiring dengan sulitnya mencari onderdil sepeda tua dan semakin menjamurnya komunitas bersepeda yang otomatis membuat harga onderdil sepeda tersebut semakin mahal karen banyak dicari orang. Wayang diiringi dengan gamelan seperti kendang, saron atau gong. Wayang Onthel ini juga mempunyai gamelan pengiring tetapi tidak seperti pengiring wayang kulit pada umumnya, sebagian alat musik ini terbuat dari onderdil sepsa juga dan kunci-kunci perbengkelan.
      
       Gamelan yang terbuat dari onderdil sepeda ini membuat suasana berbeda tetapi ada dua gamelan tradisonal yang tetap ada yaitu gong dan kendang. Dentingan suara kunci dipukul, suara bel sepeda dan jeruji sepeda diputar dan diketukkan cukup menggetarkan hati padahal cerita yang disajikan sebagian besar adalah cerita komedi yang disampaikan dalang yaitu saudara Andri Topo. Cerita wayang pada umumnya adalah cerita Ramayana, Wayang Onthel ini mengambil jalan berbeda yaitu cerita sehari-hari, misalnya cerita seorang tukang becak yang mengeluh pendapatnya menurun akibat jalur lambat untuk becak dijadikan trotoar. Di rumah tukang becak ini dimarahi istrinya karena uang belanja, sebagai tukang becak yaitu rakyat kecil tidak bisa berbuat apa-apa ddengan kebijaksanaan pejabat tinggi padahal pejabat tersebut juga digaji melalui uang pajak rakyat. Cerita ini sebenarnya menyentil Pemerintan Kota Magelang yang menghapus jalur lambat dijadikan trotoar dimana becak tergusur jalurnya dan secara tidak langsung disuruh berdesak-desakan dengan jalur kendaraan bermotor di kawasan Pecinan Kota Magelang. Cerita yang dibawakan oleh dalang di wayang onthel ini cenderung jenaka dan sedikit menyerempet kasar dengan sebagian kata kata yang hanya dipahami kaum Dewasa khas dagelan atau lawakan. Cerita ini mewarnai lain wayang yang ada di Indonesia, dimana mereka beranggapan kita tidak mengganggu tempat lain maka sah sah saja membuat jalur lain cerita pewayangan.
       Dalam setiap pagelaran Wayang Onthel ini busana yang dikenakan dalang, sinden dan penabuh gamelan berbeda-beda sesuai cerita dan tempat dimana mwayang ini digelar. Jarang sekali menggunakan pakaian adat Jawa. Pakaian kebesaran mereka adalah pakaian jaman dahulu khas VOC Belanda. Seperti tampak pada gambar di atas mereka mengenakan baju anak Sekolah Dasar bahkan bayi. Sinden pun menyanyikan lagu anak-anak dengan gaya manjanya. Tetapi suara sinden apabila menyanyikan lagu Jawa khas wayang kulit tidak kalah merdunya. Wayang onthel memberikan warna yang berbeda khas anak muda. Jangan dinilai dari tampilan yang berantakan, tetapi semangat mereka melestarikan budaya yang hanya ada di Kota Magelang, Indonesia.



Jawa Tengah adalah Provinsi Paling Banyak Memiliki Candi 
Peninggalan budaya Hindhu dan Budha

     Banyak yang beranggapan bahwa Candi Borobudur berada di Yogyakarta, tetapi sebenarnya terletak di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Candi Borobudur yang pernah menjadi 7 kejaiban dunia adalah peninggalan budaya Budha.


Candi ini walaupun tidak menjadi 7 keajaiban dunia tetap menjadi tujuan utama wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. 
 

Candi Borobudur juga manjadi tempat wisata keluarga wisatawan mancanegara

 
       Candi Borobudur sudah mendunia sejak lama sehingga tidak mengherankan jika tempat ini menjadi acuan utama orang berwisata.  Tidak heran jika tiket masuk dirasakan cukup mahal bagi wisatawan domestik yaitu Rp.30.000 dimana masih membayar untuk menikmati fasilitas lain seperti di museum kapal di kawasan candi Borobudur untuk naik Kapal replika Samudraraksa dikenai biaya senilai Rp.100.000/orang, sedangkan untuk museum candi Borobudur juga dikenai biaya kembali.


     Di sekitar Candi Borobudur sebenarnya masih banyak candi kecil seperti Candi Mendut, Candi ini bentuknya lebih kecil tetapi dalam acara Hari Besar Waisak umat Budha, prosesi upacara dimulai dari candi ini menuju ke Candi Borobudur.
(Candi Mendut)

Di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur terdapat Candi Pawon, Candi ini lebih kecil daripada Candi Mendut. Pawon dalam bahasa jawa berarti dapur Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. dapat ditafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata vajra = "halilintar" dan anala yang berarti "api" dalam bahasa Sansekerta .Di dalam candi ini tidak ditemukan arca tetapi ditemukan relief bunga kalpataru.  Fungsi utama dari candi Pawon ini tidak diketahui secara mendalam oleh para ahli. (sumber :wikipedia)
 (Candi Pawon)

     Sekitar 5 kilometer ke arah selatan dari candi Borobudur terdapat Candi Ngawen, candi Budha ini terletak di desa Ngawen kecamatan Muntilan, Magelang. Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya.  (sumber :wikipedia)
 (Candi Ngawen)

Gambar di atas diambil tahun 1929, kondisi candi saat ini hancur karena alam dan ulah manusia yang mencuru patung candi.
Kita bergerak ke utara dari Candi Borobudur terdapat candi Dieng di kawasan Dieng Wonosobo Jawa tengah, di kompleks Candi dieng ini terdapat 8 candi yaitu candi Candi-candi di Dieng ini diberi nama wayang, yaitu Candi Puntadewa, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Sembadra, Candi Dwarawati dan Candi Gatotkaca. Candi ini merupakan peningggalan Agama Siwa

(Candi Dieng)

Sebelah tiur dari Candi Dieng terdapat Candi Gedongsongo, yang berati Candi yang berjumlah sembilan.  Kompleks candi ini terletak di pegunungan Ungaran kecamatan Bandungan kabupaten Semarang.  CAndi ini meupakan candi Hindhu peninggalan Wangsa Syailendra.  Pemandangan sekitar candi sangat indah dan sejuk karena terletak di pegunungan dengan dikelilingi hutan Pinus.

(Candi Gedongsongo)

       Kita bergerak kembali ke selatan kita akan bertemu Candi Prambanan, candi ini merupakan kompleks candi Hindhu terbesar Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasti Siwagraha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sansekerta yang bermakna: 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan) (sumber :wikipedia)


 (Kompleks Candi Prambanan, pada awal pembangunan terdapat 240 candi)