
Kewibawaan Kerajaan Mulai Pudar di Masa Modern Ini.
Apabila Anda berkunjung ke Yogyakarta, masuk alun alun sudah banyak pedagang asongan dan pengemis. Menuju pintu keraton pemandangan tidak berbeda penuh sesak orang berjualan Masuk ke dalam keraton sangat kontras antara pengunjung dan abdi dalem keraton. Abdi dalem dengan pakaian adatnya tetapi para pengunjung baik lokal maupun mancanegara dengan bebas mengenakan celana pendek dan baju terbuka terbuka, padahal apabila kita berkunjung ke Candi Borobudur diharuskan memakai kain untuk menghormati candi sebagai tempat ibadah orang Hindhu.
Di Jawa ada budaya tepo sliro (tenggang rasa), unggah ungguh (bersikap) ternyata sebagian mulai pudar di depan keraton sabagai lumbung budaya. Hanya di Jogja dimana raja adalah seorang pimpinan pemerintah sebagai gubernur. Tetapi di depan keraton sendiri sangat semrawut dan sebenarnya tidak layak ada di halaman keraton sebagai wilayah yang sangat dihormati. Banyak pedagang bertumpuk di depan pintu masuk keraton, apabila kita jeli pedagang ini apabila menawarkan dagangan terhadap orang asing dengan harga berlipat-lipat, misalnya air mineral yang di toko ditawarkan Rp.2000,- ditawarkan ke wisatawan asing Rp.15.0000.
Memang hak mereka untuk menetapkan harga dagangan, tetapi ini memberi kesan tidak baik untuk wisatawan. Para pedagang mengesampingkan budaya unggah-ungguh/bersikap sopan santun sebagai orang Jawa yang halus. Mengenai harga yang diluar kewajaran ini sebenarnya juga terjadi di Malioboro khususnya pedagang makanan lesehan belasan tahun yang lalu. Peristiwa harga di luar harga wajar ini menjadi perhatian besar saat ada seorang menteri di kabinet orde baru makan di lesehan Malioboro, ternyata dikenai harga yang sangat tinggi, padahal kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berada di kawasan Malioboro. Seiring dengan adanya keluhan ini sekarang para pedagang lesehan Malioboro memasang harga menu pada setiap warung makannya. Semoga budaya khas Jawa yang halus, nguwongke/memanusikan orang tidak luntur karena faktor ekonomi.
Memang hak mereka untuk menetapkan harga dagangan, tetapi ini memberi kesan tidak baik untuk wisatawan. Para pedagang mengesampingkan budaya unggah-ungguh/bersikap sopan santun sebagai orang Jawa yang halus. Mengenai harga yang diluar kewajaran ini sebenarnya juga terjadi di Malioboro khususnya pedagang makanan lesehan belasan tahun yang lalu. Peristiwa harga di luar harga wajar ini menjadi perhatian besar saat ada seorang menteri di kabinet orde baru makan di lesehan Malioboro, ternyata dikenai harga yang sangat tinggi, padahal kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berada di kawasan Malioboro. Seiring dengan adanya keluhan ini sekarang para pedagang lesehan Malioboro memasang harga menu pada setiap warung makannya. Semoga budaya khas Jawa yang halus, nguwongke/memanusikan orang tidak luntur karena faktor ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar