Sabtu, 30 Juni 2012



Labuhan Merapi adalah Bukti Kepasrahan kepada Tuhan



        Mbah Maridjan memang sudah tiada setelah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, tetapi juru kunci merapi telah digantikan putranya Mbah Asih yang seorang pustakawan di universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.  Acara Labuhan Merapi yang baru dilaksanakan 3 minggu yang lalu adalah acara budaya yang dilakukan keraton baik abdi dalem pria dan "keparak" abdi dalem wanita, sebagai rasa bersyukur kepada Tuhan untuk diberi keselamatan.
Prosesi ini dimulai dari  Ngrangkah, Kinehrejo, Cangkringan menuju Alas Bedengan.  Para Abdi dalem membawa beberapa sesajian berupa ingkung (daging ayam), uba rampe dan kembang setaman pun digelar di sebuah altar tembok untuk kemudian diikuti prosesi lanjutan berupa pembacaan doa - doa.
Prosesi Labuhan ini dari membakar kemenyan dan cerutu, pembacaan doa serta diakhiri dengan pembagian berkat yang berupa nasi putih yang dilengkapi daging ayam suwiran. Mereka memang membawa delapan kilo nasi putih yang kemudian dibagi ke dalam plastik kecil untuk dibagikan. Setiap plastiknya diberi jatah empat sendok makan nasi putih dan suwiran daging ayam.

Setelah pembagian 'berkat/makanan' yang menandai akhir prosesi acara tersebut selesai dilaksanakan. Para abdi dalem mulai beranjak dari tempat duduknya. Tak terkecuali bagi juru kunci Gunung Merapi, Ki Lurah Suraksosihono, atau yang akrab disapa Mbah Asih. Sosok Mbah Asih memang merupakan figur yang menjadi sorotan utama sepanjang rangkaian acara tersebut. Wajar saja, Mbah Asih berperan penting sebagai pemimpin jalannya ritual mulai dari penyerahan uba rampe dari keraton Yogyakarta, acara doa bersama pada malam hari sebelumnya hingga pelaksanaan acara inti labuhan yang berlangsung di Alas Bedengan.
Tahun ini mengalami perbedaan  uba rampe dibanding tahun lalu diantaranya Sinjang Kawung Kemplang yang diganti dengan Sinjang Limar. Meski begitu, ia mengaku tak begitu paham dengan penggantian uba rampe tersebut karena merupakan wewenang pihak keraton. Hal ini tidak bersifat mutlak syarat uba rampe bisa menyesuaikan situasi dan kondisi tanpa harus keluar dari pakem yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Adapun uba rampe yang saat itu dibawa, meliputi Sinjang Cangkring, Sinjang Limar, Semekan Gadung Melati, Semekan Gadung, Desthar Doro Muluk, Peningset, Seswangen, Arto Tindeh, serta Kambil Watangan yang berupa perlengkapan berkuda. Semua uba rampe itu, dibawa kembali selesai prosesi labuhan. Hanya kembang setaman saja yang ditinggalkan di altar Alas Bedengan. "Semua ini hanya simbol saja, kalau sudah selesai ya tentu dibawa lagi,"kata Mbah Asih
Dalam prosesi Labuhan ini juru kunci Merapi Mbah Asih memohon keselamatan kepada Tuhan agar masyrakat merapi dan Yogyakarta diberi keselamatan  (sumber :tribun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar