
Labuhan Merapi adalah Bukti Kepasrahan kepada Tuhan
Mbah Maridjan memang sudah tiada setelah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, tetapi juru kunci merapi telah digantikan putranya Mbah Asih yang seorang pustakawan di universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Acara Labuhan Merapi yang baru dilaksanakan 3 minggu yang lalu adalah acara budaya yang dilakukan keraton baik abdi dalem pria dan "keparak" abdi dalem wanita, sebagai rasa bersyukur kepada Tuhan untuk diberi keselamatan.
Prosesi ini dimulai dari Ngrangkah, Kinehrejo, Cangkringan
menuju Alas Bedengan. Para Abdi dalem membawa beberapa sesajian berupa ingkung (daging ayam), uba rampe dan
kembang setaman pun digelar di sebuah altar tembok untuk kemudian
diikuti prosesi lanjutan berupa pembacaan doa - doa.
Prosesi Labuhan ini dari membakar kemenyan dan cerutu, pembacaan doa serta diakhiri
dengan pembagian berkat yang berupa nasi putih yang dilengkapi daging
ayam suwiran. Mereka memang membawa delapan kilo nasi putih yang
kemudian dibagi ke dalam plastik kecil untuk dibagikan. Setiap
plastiknya diberi jatah empat sendok makan nasi putih dan suwiran daging
ayam.
Setelah pembagian 'berkat/makanan' yang menandai akhir prosesi
acara tersebut selesai dilaksanakan. Para abdi dalem mulai beranjak
dari tempat duduknya. Tak terkecuali bagi juru kunci Gunung Merapi, Ki
Lurah Suraksosihono, atau yang akrab disapa Mbah Asih. Sosok Mbah Asih memang merupakan figur yang menjadi sorotan utama
sepanjang rangkaian acara tersebut. Wajar saja, Mbah Asih berperan
penting sebagai pemimpin jalannya ritual mulai dari penyerahan uba rampe
dari keraton Yogyakarta, acara doa bersama pada malam hari sebelumnya
hingga pelaksanaan acara inti labuhan yang berlangsung di Alas Bedengan.
Tahun ini mengalami perbedaan uba rampe dibanding tahun lalu
diantaranya Sinjang Kawung Kemplang yang diganti dengan Sinjang Limar.
Meski begitu, ia mengaku tak begitu paham dengan penggantian uba rampe
tersebut karena merupakan wewenang pihak keraton. Hal ini tidak bersifat mutlak syarat uba rampe bisa menyesuaikan situasi dan
kondisi tanpa harus keluar dari pakem yang sudah dilakukan secara turun
temurun.
Adapun uba rampe yang saat itu dibawa, meliputi Sinjang Cangkring,
Sinjang Limar, Semekan Gadung Melati, Semekan Gadung, Desthar Doro
Muluk, Peningset, Seswangen, Arto Tindeh, serta Kambil Watangan yang
berupa perlengkapan berkuda. Semua uba rampe itu, dibawa kembali selesai prosesi labuhan. Hanya kembang setaman saja yang ditinggalkan
di altar Alas Bedengan. "Semua ini hanya simbol saja, kalau sudah
selesai ya tentu dibawa lagi,"kata Mbah Asih
Dalam prosesi Labuhan ini juru kunci Merapi Mbah Asih memohon keselamatan kepada Tuhan agar masyrakat merapi dan Yogyakarta diberi keselamatan (sumber :tribun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar